“Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Biar nanti langit terbelah aku Papua
Oooh, Oooh,
Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
Adalah harta harapan.”
Lagu yang mulai dikenal publik lewat film garapan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen Di Timur Matahari itu terus dinyanyikan bocah-bocah kampung wisata Arborek, Distrik Meosmansar, Raja Ampat, Papua Barat.
Lima perempuan separuh baya memberi aba-aba. Saya dan 17 teman seperjalanan awalnya ikut bertepuk tangan sambil bernyanyi, tapi lama-kelamaan kami mengajak berkenalan, berdiskusi tayangan televisi palingup to date hingga membicarakan persoalan remeh-temeh kehidupan sehari-hari mereka.
Dari mana air tawar, pasokan listrik, gedung sekolah hingga jumlah penginapan di pulau ini. Juga siapa yang memunculkan ide Arborek menjadi desa wisata sampai nominal keuntungan penjualan kerajinan anyaman.
Lama-kelamaan kami terusik juga untuk menanyakan alasan ditutupnya Wayag untuk umum.
“Orang halang karena kita punya uang dimakan satu orang saja.”
Begitulah mama menumpahkan kekesalan kepada personal yang dianggap berperan besar hingga area Wayag menjadi lokasi terlarang untuk dijamah sejak April 2013.
Kabar ditutupnya Wayag seperti mitos yang berhembus di ibukota. Tidak ada satupun media yang menuliskannya. Tidak ada keterangan resmi dari pemerintah setempat.
Informasi sebatas dari pelancong lain yang sudah lebih dahulu plesiran ke Raja Ampat untuk mencicipi langsung keelokan Wayag. Namun, mereka pun tak benar-benar mempunyai bukti. Mereka manut mengikuti instruksi guide untuk mengalihkan perjalanan ke Fainemo.
Begitu pula kami. Informasi itu kami telan lagi dari pelancong Jakarta yang sudah sepekan berleha-leha di Waisai. Dia masih asyik-asyik saja tinggal di Waisai meski Wayag ditutup. “Tenang di sini asal jepret bagus. Kalau mau snorkeling asal nyebur juga oke,” kata pemuda yang kemudian mengenalkan namanya Sugi.
Beberapa pemilik homestay dan guide lokal juga cuma bisa mengira-ira.
“Dari kabar yang saya terima, Wayag ditutup karena ada konflik antara pemerintah dengan penduduk kampung setempat,” kata Hasna Afifah, pemilik homestay Hamueco.
“Pemerintah tidak menyepakati nominal kompensasi yang diminta penduduk. Nilainya Rp 5 miliar,” ujar dia.
Namun sumber lain mengatakan warga diprovokasi agar menuntut sejumlah uang kepada pemerintah. Jika pemerintah tidak sanggup, ada seorang anak pejabat pusat yang siap membayar lebih besar. Tentu saja dengan imbalan kawasan itu menjadi hak milik.
****
Begitu banyak kabar simpang siur sejak kami menjejakkan kaki di Waisai, ibukota Raja Ampat, Jumat (12/10/2013) siang. Penasaran dan rasa ingin tahu terpaksa kalah setelah mendengar harga sewa perahu untuk mengecek langsung.
Hari ini saya dan 17 teman yang berangkat berang di trip Photopacker pasrah. Kami memilih menelan kekecewaan bulat-bulat seperti yang dirasakan pelancong lain yang lebih dulu tiba. Biaya masuk seharga Rp 250 ribu tidak boleh hanya setara sebagai penukar pin bertulis Raja Ampat, Papua Barat.
Rancangan skenario berfoto dengan latar belakang bukit-bukit kapur dengan tumbuhan hijau dan air laut bergradasi biru muda ke biru tua di dasarnya berantakan. Maklum dalam benak kami sudah terlanjur terpatri “belum ke Raja Ampat kalau belum menginjak Wayag”.
Inyong, guide lokal, memberi solusi. Nathalie yang jadi pimpinan rombongan sepakat dan kami mengamini. Wayag diganti Fainemo!(Bersambung)
No comments:
Post a Comment