Monday, 5 October 2015

Negeri yang Masyarakatnya Makin Malas Membaca

Negeri yang Masyarakatnya Makin Malas Membaca

ilustrasi | internet SOSMED JUNKIES
ilustrasi | internet
SOSMED JUNKIES
BEBERAPA waktu lalu, di Singapura, saya mendengar Mark Zuckerberg berbicara. Bercelana jeans dan berkaus oblong abu‑abu gelap, lelaki yang didepak dari Harvard ini memaparkan (dengan cara dan gaya penyampaian memukau) hasil kerja yang membuat ia menjadi satu di antara orang paling berpengaruh di muka bumi,Facebook.
Konsep dasar Facebook adalah koneksi. Bagaimana orang‑orang dapat terhubung dan berhubungan satu sama lain, baik antar individu, antar kelompok, antar individu dengan kelompok atau sebaliknya. Bukan sekadar menyapa, namun lebih jauh dari saling memberi dan berbagi informasi. Pendek kata, Facebook adalah dunia baru. Dunia di mana semua orang dapat menempatkan diri secara aktif sebagai pelaku‑pelaku, bukan lagi penonton yang hanya pasif dan menerima.
Ide besar yang dirancang Mark Zuckerberg dari kamar flatnya yang pengap di Asrama Mahasiswa Harvard ini, kita tahu, sudah terealisasi. Namun ada perkembangan radikal yang barangkali tidak pernah dibayangkan oleh Zuckerberg. Betapa makin ke sini, Facebook, makin banyak digunakan sebagai kendaraan dalam upaya untuk membangun penyesatan‑penyesatan. Tanpa disadari, dunia Facebook(dan juga media‑media sosial lain terutama sekali Twitter), telah membantu membentuk kelompok‑kelompok masyarakat baru yang belum pernah ada sebelumnya. Yakni kelompok masyarakat yang bebal, yang serba mudah melampiaskan perasaan (marah, gembira, sedih, bahagia) dan mudah pula menarik kesimpulan, lalu berkeyakinan bahwa tiada yang lebih benar daripadanya.
Tak terkecuali di negeri ini. Indonesia merupakan salah satu pasar utama Facebookdan Twitter. Setidaknya tujuh dari 10 orang (usia 15‑50) memiliki akun Facebook dan rutin beraktivitas di dalamnya. Bahkan dua di antara yang tujuh ini memiliki lebih dari satu akun.
Dibanding FacebookTwitter memang agak tertinggal. Twitter sejauh ini baru berjejak terang di kota‑kota besar sehingga terkesan lebih elitis. Bahkan belakangan Twitter mulai terkejar oleh media sosial berbasis foto dan video,Instagram.
Saya mulai memiliki akun Facebook pada tahun 2008, setelah penasaran dengan percakapan seru sejumlah kawan, di samping banyaknya notifikasi pesan yang masuk ke kotak pesan surat elektronik saya. Twitter menyusul setahun berselang. Adapun Instagram dan Path yang sering “dipercandakan” sebagai “Facebook Merah” (warna yang identik dengan Facebook adalah biru), masing‑masing baru saya buka dua tahun belakangan.
Harus saya akui, waktu itu beraktivitas di Facebook dan Twitter sungguh mengasyikkan. Percakapan dan pembahasan yang beredar di lini masa adalah hal‑hal yang ringan dan menerbitkan tawa. Tidak ada pembahasan rumit yang membikin kulit kening berkerut, apalagi sampai membuat kepala dan hati jadi panas. Tentu saja belum ada pula yang sampai pada pemikiran untuk menjadikannya sebagai lapak jualan atau panggung kampanye politik. Benar‑benar dunia yang baru. Dunia yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk sejenak lari dari keriuhan dan kesemrawutan dunia yang serba sontoloyo.
Sayang seribu kali sayang, seiring meningkatnya level kecanggihan, sirna pulalah segenap kesenangan itu. Facebook, Twitter, juga Instagram, Path, maupun media‑media sosial lain, sekarang tiada lagi berbeda dari dunia yang beringsut di luar internet. Dunia di mana sudah makin sulit membedakan mana pejabat baik mana pejabat kotor, mana pandai agama mana dukun palsu mana penyamun, mana pengabdi mana tukang kibul, mana pecinta sejati mana bajingan tengik, mana perzinahan terbuka mana perzinahan tertutup. Dunia yang tiap‑tiap kejadian dan fakta dapat dengan mudah dipelencengkan dan diputarbalikkan.
Apakah media sosial sudah sedemikian buruk? Suka tak suka memang begitu. Begitu banyak kasus kriminal yang berawal dari, misalnya, tulisan atau unggahan di Facebook. Begitu sering orang terseret ke ranah hukum lantaran berceloteh diTwitter. Ada yang menjadi gila, ada yang bunuh diri. Di Indonesia, lahir undang‑undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang diterbitkan sebagai semacam rambu tapi pada praktiknya lumayan sering justru dijadikan sebagai senjata untuk menyerang, menyingkirkan, atau membungkam.
Sudah segawat itukah? Sesungguhnya masih ada penawar. Masih ada semacam jalan keluar yang paling tidak dapat memberikan setitik kecerahan supaya tak betul‑betul terjerumus, jatuh pada kedunguan yang akut. Yaitu membaca. Bagaimana melakukan tinjau ulang dengan cermat dan teliti, melakukan telaah dan pembandingan‑pembandingan terhadap informasi dan literatur‑literatur lain, sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk berpendapat dan kemudian bersikap.
Kita tahu ini amat sangat jarang dilakukan. Sedikit sekali yang mau repot. Jangankan untuk melacak kepada sumber‑sumber berbeda, bahkan dalam satu keriuhan diskusi, misalnya, untuk sekadar membaca hal‑hal apa saja yang sudah atau belum tersampaikan atau terjelaskan di sana pun tidak dilakukan.
Sebagian besar lebih senang memamah, atau bahkan menelan bulat‑bulat, apapun yang tersuguh di lini masa media sosial. Tulisan, foto, juga video. Lalu dengan pengetahuan serba sedikit yang bahkan bukan sekadar ngelmu kira‑kira, melakukan apa yang belakangan disebut dengan trial by the net, penghakiman jejaring. Atau istilah lain, social media bullying. Pada Facebook, kekonyolan mengenaskan ini dialirkan melalui mekanisme ‘share’, sedang di Twitter lewat ‘hastag’ atau ‘tagar’ (tanda pagar).
Tanpa pandang bulu, semua orang di seluruh tatanan kehidupan dan strata sosial bisa kena. Laki, perempuan, transgender, anak‑anak, remaja, orang tua, dari sipil sampai militer, dari pengemis, selebritis, olahragawan, wartawan, politikus, alim ulama, sampai menteri dan presiden.
Peramu Isu
Kecenderungan‑kecenderungan ini memudahkan kerja para peramu isu, peracik‑peracik kontroversi, baik yang melakukannya karena hobi, fanatisme, atau memang betul‑betul profesional (atas tiap isu yang dilemparkan yang bersangkutan memperoleh bayaran).
Tidak perlu bersusah‑susah menyusun rencana. Tidak perlu berpayah‑payah menyiapkan tangkisan‑tangkisan, karena, toh, sebodoh apapun isu tersebut akan tetap dimamah dan ditelan. Tak perlu pula cemas jika ada serangan balik dari orang‑orang yang menangkap kebodohan isu, karena orang‑orang seperti ini, orang‑orang yang membaca dan karenanya masih mampu berpikir logis dan jernih, akan segera dikeroyok oleh orang‑orang yang sepemahaman dengan para peramu isu dan peracik kontroversi tersebut.
Maka sekiranya Anda berkunjung ke media sosial di hari‑hari belakangan ini, Anda akan dengan gampang sekali menemukan penulis‑penulis yang disebut goblok oleh orang‑orang yang tidak bisa membedakan mana berita mana artikel mana esai mana cerpen mana puisi, yang bahkan sekadar untuk menuliskan komentarnya yang cuma dua tiga kalimat itu saja sama sekali belum beres tatanannya belum beres titik koma dan ejaannya.
Anda akan dengan mudah mendapatkan alim‑alim ulama, entah itu ustaz entah kyai, entah pendeta atau bikhu, yang disebut gadungan, sesat, atau kafir oleh orang‑orang yang baru kemarin sore mengenal agama. Pun Anda akan dengan sangat mudah sekali mencari cercaan, ejekan, dan makian yang dialamatkan pada para pejabat pemerintahan, para wakil rakyat, polisi, tentara, termasuk juga menteri‑menteri dan presiden dan wakil presiden.
Pendeknya, tiap‑tiap ketidaksepahaman adalah kesalahan‑kesalahan terbesar dalam sejarah umat manusia. Dia harus secepat‑cepatnya dihabisi.
Kesepahaman ini sendiri macam‑macam latarbelakangnya. Ada yang karena memiliki kesukaan yang sama. Atau sebaliknya, kebencian yang sama. Dan berangkat dari keduanya, maka kebodohan separah apapun bukan saja akan termaklumkan atau dipandang wajar, tapi lebih jauh bahkan sudah dianggap setara sahihnya dengan sabda dan wahyu.

No comments: